Bahkan tembok besar yang kita bangun untuk melawan peperangan harus hancur sebelum sebuah perang terjadi, yang sangat mengejutkan tembok yang kita bangun bersama kini hancur karnamu.
Kita benar-benar berakhir disini...
Kamu bilang sebisa mungkin menepati janji semua jari yang kita buat, tentang perjanjian tertulis yang kita tanda tangani.
Ini benar..
Kita berakhir disini...
Rasa kecewa yang berhantaman dengan rasa sakit.
Perih sekali tuhan, jika bisa kamu rasakan ini sakit sekali.
Harus menelan rasa sakit dan kecewa secara bersamaan bahkan tanpa mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan ini.
Tidak bisa kutepati janji untuk tidak menangisimu, bahkan beberapa kali menahan perasaan yang meledak-ledak seperti ini hanya membuat dada ini sesak saja.
Menahan air mata yang sudah setengah terjatuh dipipi ini hanya membuat rasa perih dihidung, bahkan rasa perihnya menghantarkannya kedalam hati.
Jika merelakan memang sudah jadi takdir tuhan kenapa dulu sangat tabah dalam menjaga, jika marah memang kuncinya kenapa harus mengunci kebahagian yang lalu.
Tentang perasaan yang dulu kita bina dengan tembok-tembok yang kokoh itu, kupikir tak akan hancur dengan sebuah peperangan diluar sana.
Namun kenyataannya tuhan berkata lain, ternyata peperangan dari dalam ini benar-benar menghancurkan tembok yang dulu kita banggakan.
Terlihat dari luar kokoh sekali tembok yang kita bangun, namun kenyataannya sangat rapuh dari dalam, bahkan hancur menjadi puing seperti terjadi sebuah bencana alam yang begitu dahsyat.
Sepertinya yang harus kusadari sejak dulu, untuk apa membuat tembok yang kokoh seperti tembok cina kalau hanya terlihat kokohnya dari luar saja tanpa diperkuat dari dalam.
Kini tembok yang kita banggakan hanya menjadi puing-puing yang berantakan tanpa ada yang mengurusnya, seperti ditinggalkan oleh pemiliknya.
Benar-benar hancur hati ini seperti puing-puing tembok yang kau hancurkan dan tinggalkan ini.